Puasalah sebaik-baik puasa, puasanya Nabi Daud AS ! Dia berpuasa sehari & berbuka sehari (HR.Bukhari, Muslim)

Kamis, 19 Mei 2016

Tuhan pun Mau diajak Bernegosiasi: Hikmah Isra Mi'raj



Dua sifat Allah yang saling berkaitan erat: jamaliyah dan jalaliyah. Allah yang Maha Pengampun dan Penyayang serta Maha Lemah Lembut adalah cerminan sifat Jamaliyah; sedangkan Allah yang Maha Besar, Maka Kuat, Maha Kuasa merupakan contoh sifat Jalaliyah. 

Melalui sifat Jamaliyah ini Allah berkenan berdialog bahkan bernegosiasi dengan makhluk ciptaanNya. Jadi kalau ada hambaNya yang keras kepala, tidak mau kompromi dan tidak bisa diajak bernegosiasi sedikitpun maka orang tersebut perlu belajar melembutkan hatinya dengan menyimak kisah Isra-Mi'raj.

Dalam peristiwa Mi'raj, Anas bin Malik menyebutkan, "Nabi SAW bersabda: "Kemudian Allah 'azza wajalla mewajibkan kepada ummatku shalat sebanyak lima puluh kali. Maka aku pergi membawa perintah itu hingga aku berjumpa dengan Musa, lalu ia bertanya, 'Apa yang Allah perintahkan buat umatmu? 'Aku jawab: 'Shalat lima puluh kali.' Lalu dia berkata, 'Kembalilah kepada Rabbmu, karena umatmu tidak akan sanggup! ' Maka aku kembali dan Allah mengurangi setengahnya. Aku kemudian kembali menemui Musa dan aku katakan bahwa Allah telah mengurangi setengahnya. 

Tapi Musa berkata, 'Kembalilah kepada Rabbmu karena umatmu tidak akan sanggup.' Aku lalu kembali menemui Allah dan Allah kemudian mengurangi setengahnya lagi.' Kemudian aku kembali menemui Musa, ia lalu berkata, 'Kembalilah kepada Rabbmu, karena umatmu tetap tidak akan sanggup.' Maka aku kembali menemui Allah Ta'ala, Allah lalu berfirman: 'Lima ini adalah sebagai pengganti dari lima puluh. Tidak ada lagi perubahan keputusan di sisi-Ku! ' Maka aku kembali menemui Musa dan ia kembali berkata, 'Kembalilah kepada Rabbmu!' Aku katakan, 'Aku malu kepada Rabbku'.

(Shahih Bukhari, Hadis Nomor 336 dan 3094; Shahih Muslim, Hadis Nomor 237)

Para ulama terpesona membaca kisah di atas: bagaimana mungkin sebuah perintah Allah, belum dilaksanakan pun, sudah bisa dinegosiasi? Ini semua tidak mungkin terjadi kalau Allah tidak menampakkan belas-kasihanNya kepada umat Muhammad SAW. Nabi Musa, berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya, terus meminta Nabi Muhammad kembali menghadap Allah untuk bernegosiasi, sampai Nabi sendiri akhirnya merasa malu untuk kembali. 

Bercermin dari sikap Nabi, ya begitulah salah satu adab para salik: Allah terus menawarkan rahmatNya sampai para salik sendiri menjadi malu dan merasa cukup. Ya Rabb, rahmatMu terus mengalir ke bumi, padahal dosa-dosa kami terus naik ke langit. Engkaulah Rabb yang kasih sayangMu melebihi murkaMu. Astaghfirullah...

Kalau kisah di atas belum juga mampu meruntuhkan tembok ego diri kita yang ngeyel dan ngotot untuk tidak mau berkompromi soal pelaksanaan Syariat, maka tengoklah kisah Nabi Ayub yang kelepasan bersumpah mencambuk istrinya seratus kali. Nabi Ayub kemudian menyesal seraya teringat kembali bakti sang istri. Beliau kebingungan karena sumpah harus dilaksanakan.  

Tafsir Ibn Katsir menceritakan bagaimana Allah memberikan petunjuk melalui wahyu-Nya yang menganjurkan kepada Nabi Ayub  untuk mengambil lidi sebanyak seratus buah yang semuanya diikat dijadikan satu, lalu dipukulkan 100 lidi kepada istrinya sekali pukul. Dengan demikian, berarti Ayub telah memenuhi sumpahnya dan tidak melanggarnya serta menunaikan nazarnya itu. 

Hal ini adalah merupa­kan jalan keluar yang Allah berikan: ketimbang seratus kali mendera, maka cukup seratus lidi digabung jadi satu dan dipukulkan sekali. Luar biasa, bukan? Allah 'mengajari' Nabi Ayub untuk 'mengakali' sumpahnya tanpa harus melanggar esensi sumpah. Allah mengajari Nabi Ayub akan maqashid al-syari'ah.

(Catatan: sebelum ada yang kebakaran jenggot dan menuduh Ibn Katsir dan saya sebagai liberal atau syi'ah, saya persilakan untuk membaca kisah Nabi Ayub di atas dalam QS Shad:44). 

Begitulah....Allah pun begitu lentur, fleksibel, dan negotiable terhadap aturanNya. Syariat sebagai cerminan sifat Jalaliyah Allah, memang harus digandeng dengan Tasawuf sebagai perwujudan sifat Jamaliyah Allah. Kalau Allah saja mau berkompromi dan bernegosiasi, masihkah hati anda keras seperti batu? Lantas bagaimana kita mau mi'raj kalau terus kita bawa kekerasan hati ini? 

Ya Lathif, Ulthuf bina....

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
Australia-New Zealand

Ketika Rasulullah SAW mendekatiNya lewat Sujud



Tulisan dari Prof. Nadirsyah Hosen,

Nabi Muhammad SAW pernah berdoa saat sujud:
للَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَأَعُوذُ بِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Ya Allah, sungguh aku berlindung dengan keridhaanMu dari murka-Mu, dan aku berlindung dengan pemaafan-Mu daripada hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari Engkau. Dan aku belum memuji-Mu sebagaimana Engkau selayaknya dipuji" (HR Abu Dawud, al-Nasa'i, Ibn Majah, Ahmad)
Dalam kitab Ihya, Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menjelaskan kandungan spiritual doa di atas:
Kalimat pertama dalam doa Rasul: "Ya Allah, sungguh aku berlindung dengan keridhaanMu dari murka-Mu", ini berdasarkan pandangan Nabi Muhammad terhadap tindakan Allah. Seolah saat sujud itu Nabi hanya melihat Dia dan tindakan-Nya semata --tidak yang lain, sehingga Nabi pun berlindung kepada Allah dalam tindakan-Nya (keridhaan) dari tindakan-Nya (kermukaan).

Kemudian Nabi lebih mendekat lagi, dan kini Nabi tidak lagi melihat tindakan-Nya, yang Nabi saksikan adalah sumber dari tindakan-Nya, yaitu sifat Allah semata. Itulah sebabnya pada kalimat kedua Nabi merintih mesra dalam doanya: "dan aku berlindung dengan pemaafan-Mu daripada hukuman-Mu". Inilah dua sifat Allah yang dirujuk oleh sang nabi: al-'afuw dan al-mu'aqib.

Nabi menyadari kemudian bahwa vision (pandangan) beliau ini belum sempurna. Karena itu Nabi lebih mendekat lagi kepada Allah dalam sujudnya dan bergeser dari sifat ke dzat. Tidak ada tindakan atau sifat-Nya yang Nabi kini saksikan. Cuma ada Nabi dan Dia. Maka Nabi pun berbisik mesra pada Sang Kekasih: "Dan aku berlindung kepada-Mu dari Engkau" (a'udzu bika minka). Inilah kondisi yang melesat dari Dia menuju Dia tanpa perantara sifat dan tindakan-Nya.

Lebih dekat lagi, dan Nabi melihat dirinya sudah lenyap. Inilah batasan seorang hamba. Dalam batas ketidakmampuan hamba yang tenggelam dalam keterpesonaan "menyaksikan"-Nya saat sujud, Nabi pun berucap lirih: "Dan aku belum memuji-Mu sebagaimana Engkau selayaknya dipuji". Hanya Dia dan Dia yang mampu memuji dzat-Nya seperti yang Dia pantas dan layak untuk dipuji. Insan kamil sekalipun tidak sanggup mengekspresikan pujian dan terima kasih kepada-Nya sesempurna dzat-Nya.
Semua pujian berasal dari-Nya, dan kembali kepada-Nya. Selain itu, lenyap sudah.

Demikianlah kawan, semakin dekat kita pada-Nya semakin kita sadar betapa kita belum berterima kasih pada-Nya dengan layak. Maka saat kita angkat kepala kita dari sujud setelah membaca doa itu: apa yang kita lihat? Kemanapun kita edarkan pandangan mata kita, yang kita lihat adalah anugerah dan kasih sayang-Nya, baik terwujud dalam tindakan dan sifat-Nya maupun dalam penciptaan-Nya.
Mendekati-Nya dengan berterima kasih pada-Nya. Sesederhana seperti angin yang berhembus, tapi kandungannya lebih dalam dari samudera. Terima kasih Ya Allah..... ‪#‎kembalibersujud‬

Tabik,
Nadirsyah Hosen
Monash Law School

Selasa, 23 Februari 2016

Rahasia Umur Panjang Nabi Khidir As dan Nabi Ilyas As



AudzubiLlahi minasy syaithanir rajiim
BismiLlahir Rahmanir Rahiim
Allahumma Shali ‘Ala Sayyidina Muhammad Shallahu ‘Alayhi wa Salaam

Maddad yaa Haqqani Hazrat Mawlana Syaikh Nazim
Maddad yaa Sultan Mawlana Syaikh Mehmet… maddad…maddad…

Suatu hari Nabi SAWS sedang duduk didalam masjid Beliau SAWS, ketika itu tampak dua orang yang berpenampilan bersih dan rupa yang tampan datang menghampiri. Mereka memberi Salaam. 
“Dari mana kalian berasal?” tanya Nabi SAWS.
“Kami berasal dari masa yang sudah lama berlalu”, jawab mereka. “Sudah lama kami menyembah Allah dan kami telah mendengar untaian kata-kata yang lebih indah dari segala kata yang pernah ada. Dari seluruh 124,000 Kitab Allah yang ada, untaian kata-kata ini disebutkan sebagai yang terindah, dan untaian kata-kata ini hanya akan muncul di akhir zaman, didalam Kitab yang paling akhir muncul (yakni Al Qur’an Karim, penerj.). Jadi kami kemudian beribadah selama seribu tahun hingga Allah bertanya kepada kami berdua karunia apa yang bisa diberikan-NYA kepada kami. Kami memohon agar bisa mendengar untaian kata-kata indah itu, yakni surah al-Faatihah.” Allah tidak menjawab mereka. Lalu mereka berdua kembali berdoa selama seribu tahun. Baru Allah menjawab mereka. DIA berkata, “Surah ini hanya KU-peruntukkan bagi Kekasih-KU Tercinta Muhammad SAWS dan umatnya.”

Kedua lelaki itu berdoa selama seribu tahun lagi hingga Allah kembali bertanya kepada mereka karunia apa yang bisa DIA berikan kepada mereka. Mereka menjawab, “Karena kami tak bisa dikaruniai al-Faatihah mohon agar ijinkan kami berdua hidup berusia panjang agar bisa menjadi bagian dari Umat Beliau SAWS, menyalami Beliau SAWS, dan mendengar pembacaan surah al-Faatihah, walau hanya sekali saja. Sehingga kami kemudian wafat dalam keadaan puas/ridho.”

Kedua lelaki ini adalah Khidir AS dan Ilyas AS. Mereka kemudian ber-Syahadah kepada Nabi SAWS yang dengannya mereka merasa puas. Mereka tidak lagi menjadi Nabi tapi “hanyalah” bagian dari Umat Muhammad SAWS. Mereka memohon agar Nabi SAWS berkenan membacakan al-Faatihah untuk mereka. Beliau SAWS kemudian membacakan surah al-Faatihah untuk mereka berdua dan kemudian mereka berdua membacanya bersama Beliau SAWS. Lalu mereka semua bersama-sama mengucapkan “Amiin” yang artinya “Duhai Allah, mohon terimalah doa kami…”

Mereka kemudian bertanya,

“Duhai Rassulullah, apakah balasannya membaca al-Faatihah?”

“Jika saja Allah mengaruniaiku kehidupan hingga akhir masa, maka tidaklah cukup untuk mengatakan kepadamu semua manfaatnya (semua kebaikan yang akan kita terima karena membaca surah al-Faatihah, penerj.)”, jawab Nabi SAWS. “Jadi, aku akan mengatakan kepadamu manfaat dari mengucapkan Amiin.”

“Alif tertulis pada Arsy Allah.
Mim ada pada kaki dari Kursi-NYA.
Yaa ada pada Lawhul Mahfudz.
Nun ada pada Pena (Kalam).”

“Mohon ceritakan lebih banyak lagi”, kata kedua lelaki itu.

“Alif tertulis di kening Israfil AS.
Mim tertulis di kening Mikail AS.
Yaa tertulis di kening Jibril AS.
Nun tertulis di kening Izrail AS.
Siapa saja yang mengucapkan “Amiin” akan mendapat manfaat dari keempat Malaikat ini”.
“Mohon ceritakan lebih banyak lagi”, kata mereka berdua.

“Alif tertulis didalam Taurat.
Mim tertulis didalam Zabur.
Yaa tertulis didalam Injil.
Nun tertulis didalam Qur’an. 
Siapa saja yang bersungguh-sungguh dalam mengucapkan “Amiin” setelah pembacaan al-Faatihah, maka seolah-olah dia telah membaca Keempat Kitab Suci itu”.

“Kalian mau yang lebih lagi?”
“Ya…” jawab mereka.

“Alif tertulis di kening Sayyidina Abu Bakar RA.
Mim tertulis di kening Sayyidina Umar RA.
Yaa tertulis di kening Sayyidina Utsman RA.
Nun tertulis di kening Sayyidina Ali RA. 
Siapa saja yang mengucapkan “Amiin” akan mendapat manfaat dari Keempat Sahabat ini”.

Kedua lelaki baru saja akan berdoa memohon agar Allah mencabut nyawa mereka sebagaimana yang mereka kehendaki apabila keinginan mereka sudah mereka peroleh, ketika Nabi SAWS menghentikan maksud mereka. Beliau SAWS berkata “Allah telah mengaruniai kalian usia yang panjang dan kekuatan khusus. Umatku lemah dan mereka membutuhkan kalian.” 
Kemudian Allah mengaruniai mereka usia yang panjang untuk berkhidmat kepada Umat Sayyidina Muhammad SAWS.
Ilyas AS di lautan.
Khidir AS di daratan.

Ditulis oleh Hajjah Anne Aminah Adil al-Haqqani. Istri dari Maulana Syaikh Nazim
(Semoga Allah menempatkan kita dalam kebersamaan kewalian Beliau selamanya).


Kamis, 04 Februari 2016

Rasulullah SAW Berjaga di samping Pintu Menuju Neraka


Rasulullah SAW bersabda, "Ketahuilah bahwa mimbarnya Nabi Ibrahim AS berada disebelah kanan Arsy dan mimbarku disebelah kiri Arsy".

Maka para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah engkau lebih utama dari Nabi Ibrahim.Kenapa engkau ditempatkan disebelah kiri Arsy,sedangkan Nabi Ibrahim disebelah kanannya Arsy?
Rasulullah menjawab, "Jalan ke Surga berada disebelah kanan Arsy sedangkan jalan menuju Neraka berada disebelah kiri Arsy.Aku berada disebelah kiri supaya aku dapat melihat umatku yang akan dimasukkan ke neraka dan kemudian aku berikan safaat kepadanya".

Ketika aku berada dimimbarku aku mendengar seseorang dari umatku berteriak teriak seraya berkata, "Pahalaku sedikit dan dosaku banyak!"





Rasulullah SAW berkata kepada Malaikat, "Jangan masukkan dia keneraka".
Malaikat menjawab, "Aku adalah Malaikat yang melaksanakan apa saja yang diperintahkan Allah SWT kepadaku".

Maka Rasulullah turun dari mimbarnya dan sujud satu kali dihadapan Allah SWT.
"Kemudian Allah SWT memerintahkan kepada Malaikat untuk tidak memasukkan orang tsb keneraka karena sujudku".

"Aku perintahkan kepada Malaikat untuk menimbang kembali amalnya serta aku berikan kepadanya pahala Sholawat atasku yang sedikit pada timbangannya, maka bertambahlah pahalanya dan berkuranglah dosanya.Kemudian orang itu memegangku erat-erat sambil mengucap, "Siapakah engkau yang telah menolongku dari siksa yang dahsyat?".

Maka Rasulullah SAW bertanya, "Apakah engkau tidak mengenalku?"
"Ketahuilah bahwa aku ini Nabimu dan penolongmu, aku adalah Nabi Muhammad Shollallahu 'Alaihi Wassalam".

Demikianlah kasih sayangnya Rasulullah SAW kepada umatnya..Semoga kita menjadi Umat Nabi Muhammad yang cinta dan senantiasa bersholawat kepadanya Aamiinn

Jumat, 08 Januari 2016

Doa Semut ketika KepadaNya Meminta Hujan



Semut adalah hewan kecil yang biasa kita temui. Habitat semut bisa di mana saja, di rumah yang panas, kamar yang lembab, bahkan di luar rumah yang dingin sekalipun semut pasti ada.

Keberadaan semut terkadang membuat kita kesal. Terlebih jika semut mengerubungi makanan atau minuman yang hendak kita santap. Tapi, jangan sampai kekesalanmu pada semut berujung pada membunuh semut tersebut.

Semut pun juga makhluk Allah Ta'ala. Mereka juga diberi akal meskipun tak sepandai manusia. Tapi hendaknya, hargailah semut, jangan sekalipun kita lebih besar dari semut kita bisa semena-mena membinasakannya.

 Dalam suatu kisah, Sulaiman bin Dawud pernah hendak pergi untuk mencari air (maksudnya sholat istisqa', untuk meminta hujan kepada Allah Ta'ala). Kemudian ia melihat semut bersandar di punggungnya dan mengangkat kedua kaki depannya ke langit, seraya berucap, "Sesungguhnya kami adalah salah satu makhluk dari makhluk-makhluk-Mu, kami sangat butuh siraman dan rezeki-Mu. Baik Engkau akan mengucurkan air dan rezeki kepada kami atau membinasakan kami." Lalu Sulaiman berkata (kepada kaumnya), "Kembalilah pulang, kalian akan diberi air (hujan) melalui do'a dari makhluk selain kalian." (HR. Imam Ahmad)

Dari kisah tersebut, kita seharusnya malu jika masih meminta segala hal kepada selain Allah Ta'ala. Padahal, hewan sekecil semut pun meminta apa yang ia inginkan kepada Allah Ta'ala. Semut pun ikut berdzikir kepada Allah Ta'ala.

Mestinya kita juga malu jika masih menyekutukan Allah Ta'ala. Seperti halnya dikala ada bencana, masyarakat terkadang masih melakukan ritual yang sebenarnya tidak ada dalam ajaran Islam. Hal itu sama saja menyekutukan Allah Ta'ala.

Dengan kisah ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa kita tidak boleh meremehkan hal kecil, seperti semut ini. Biasanya kita cuek saja jika ada semut dan bahkan membunuhnya, padahal mereka juga berdzikir kepada Allah Ta'ala.

Wallahu A'lam.

Sumber