Khalifah II Dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mansur, hari itu benar-benar sedang jengkel. Seekor lalat terus mendekati wajahnya.
Usaha mengusir si lalat sudah dilakukan, tapi serangga mungil itu seperti justru ingin mengganggu. Terbang, berdenging, hinggap, terbang lagi, hinggap lagi.
Kemarahan sang khalifah memuncak. Bukan saja karena ia adalah seorang raja. Kala itu al-Mansur sedang memulai pertemuan dengan para menterinya.
Bagaimana mungkin makhluk sekelas lalat leluasa menempel di hidungnya, sedangkan para menterinya untuk berjarak semeter saja tak akan berani?
"Thok.. thok.. thok..." Terdengar suara pintu diketuk. Muqatil bin Sulaiman datang telat. Ulama ahli tafsir ini sengaja berkunjung ke istana memenuhi undangan raja. Kepakaran dan kecerdasannya yang membuat Muqatil bersahabat baik dengan khalifah, termasuk berkali-kali menjadi tamu istana.
Melihat kehadiran Muqatil, Khalifah al-Mansur langsung menodongnya dengan sebuah pertanyaan, “Kamu tahu, kenapa Tuhan menciptakan lalat sialan ini?"
Tanpa pikir panjang Muqatil menyahut; "Khalifahku yang mulia, Tuhan sengaja menciptakan lalat-lalat untuk menghinakan orang-orang angkuh dan congkak," demikian diceritakan Abu Hayyan dalam al-Imta wal Muanasah.
Jawaban spontan Muqatil sungguh di luar dugaan sang khalifah. Mulut al-Mansur tiba-tiba terkunci sangat rapat. Tatapannya terhenti. Hening. Tapi isi dadanya berdebar-debar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar